Merdekapos.com, Jakarta — Pemerintah diminta berhati-hati dalam menerapkan kebijakan biodiesel B50 yang rencananya diberlakukan pada 2026. Pasalnya, tanpa perhitungan matang, kebijakan tersebut bisa menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan industri kelapa sawit nasional yang tengah menghadapi tekanan daya saing di pasar global.

Guru Besar IPB University, Bayu Krisnamurthi, menilai pemerintah perlu memastikan seluruh aspek ekonomi, energi, dan industri diperhitungkan secara komprehensif sebelum menaikkan campuran biodiesel dari B40 ke B50.

“Sudah beberapa tahun terakhir ini, produksi dan investasi sawit Indonesia stagnan akibat kebijakan yang tidak menentu,” ujar Bayu dalam siaran persnya, Senin (20/10/2025).

Menurutnya, kenaikan kadar biodiesel menjadi B50 berpotensi menambah beban subsidi, menekan ekspor minyak sawit mentah (CPO), serta meningkatkan harga minyak goreng di dalam negeri. Dampak berantai ini, kata Bayu, bisa menggerus daya saing sawit Indonesia di pasar internasional.

Kajian dari Pranata UI juga menekankan pentingnya penerapan kebijakan biodiesel nasional secara terukur, adaptif, dan berbasis data ilmiah. Pendekatan ini dinilai penting agar transisi menuju energi hijau tetap seimbang dengan keberlanjutan industri sawit nasional.

Indonesia saat ini merupakan produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 48,2 juta ton atau sekitar 54% dari pasokan global. Namun, untuk memenuhi kebutuhan biodiesel B50, produksi domestik diperkirakan harus meningkat hingga 59 juta ton per tahun, sementara produksi 2025 hanya diproyeksikan 49,5 juta ton.

Ketimpangan produksi ini dikhawatirkan akan mengganggu pasokan dalam negeri dan menekan ekspor. Berdasarkan simulasi, kebijakan B50 memang berpotensi menghemat devisa impor solar hingga Rp172,35 triliun, namun di sisi lain, bisa menimbulkan kehilangan devisa ekspor CPO sebesar Rp190,5 triliun.

Kondisi tersebut berpotensi melemahkan neraca perdagangan, cadangan devisa, dan stabilitas nilai tukar rupiah, terlebih saat harga CPO Indonesia sudah lebih tinggi dibanding minyak nabati lain. Situasi ini mendorong negara importir besar seperti India beralih ke produk pesaing.

Selain itu, kebijakan B50 juga bisa memicu kenaikan harga domestik. Harga minyak goreng diperkirakan naik hingga 9%, sedangkan harga TBS (tandan buah segar) berpotensi meningkat Rp618 per kilogram akibat meningkatnya permintaan bahan baku biodiesel.

Namun, di sisi lain, lonjakan subsidi untuk menjaga keekonomian program bisa menjadi beban fiskal besar. Jika tarif pungutan ekspor CPO dinaikkan dari 10% menjadi 15,17%, harga TBS di tingkat petani justru bisa tertekan hingga Rp1.725 per kilogram.

Bayu menegaskan, keberhasilan transisi energi harus tetap berpijak pada data dan keseimbangan ekonomi nasional. “Kita butuh kebijakan yang adaptif, bukan hanya ambisius,” tutupnya.

Laporan oleh Dipa

Share.
Leave A Reply

Exit mobile version