Merdekapos.com, Jakarta – Meski India masih menjadi pasar utama minyak sawit Indonesia, ekspor ke negara tersebut justru merosot tajam pada pertengahan 2025. GAPKI mencatat penurunan hingga 27% dibanding tahun lalu, dipengaruhi faktor harga dan kebijakan impor India.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, mengungkapkan ekspor sawit ke India pada Juni 2025 hanya mencapai 573 ribu ton. Angka ini turun dari 783 ribu ton pada periode yang sama tahun lalu.

“India adalah market yang sangat penting bagi Indonesia setelah China. Tapi hingga pertengahan tahun ini, ekspor sawit ke India justru menurun dibandingkan tahun lalu,” ujar Eddy dalam webinar Palm Oil as a Strategic Corridor: Strengthening Indonesia-India Economic and Trade Cooperation, Senin (22/9/2025).

Penurunan ekspor terjadi di tengah kondisi harga minyak sawit global yang sepanjang 2024 lebih tinggi dibanding minyak nabati lain, seperti soybean oil. Kondisi itu membuat sejumlah importir India sempat beralih ke minyak nabati lain. Baru pada April 2025, harga sawit kembali lebih murah ketimbang soybean oil, meski selisihnya masih tipis.

Di sisi lain, kebutuhan minyak nabati di India terus meningkat hingga hampir 25 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 9 juta ton dipenuhi dari impor minyak sawit. Indonesia masih menjadi pemasok terbesar, yakni sekitar 4,4 juta ton pada 2024 menurut Oil World, atau 4,8 juta ton berdasarkan data BPS.

India memang memproduksi minyak nabati sendiri—seperti rapeseed, soybean, cottonseed, dan sunflower namun kapasitas produksinya belum mampu menutup kebutuhan domestik. Produksi minyak sawit India pun hanya sekitar 400 ribu ton, jauh di bawah konsumsi yang mencapai 9,8 juta ton. Karena itu, impor dari Indonesia dan Malaysia masih menjadi andalan.

Selain harga, struktur tarif impor di India juga berpengaruh. Crude palm oil (CPO) dikenakan tarif lebih rendah, yakni 16,5%, sementara produk olahan sawit bisa mencapai 35% hingga 75%. Kondisi ini membuat India lebih banyak mengimpor CPO ketimbang produk jadi.

“Secara volume, impor terbesar India dari Indonesia adalah CPO. Selain tarifnya lebih rendah, India juga punya kapasitas pengolahan sendiri, jadi mereka lebih memilih bahan baku,” jelas Eddy.

Meski ekspor ke India melemah, kontribusi sawit terhadap perekonomian nasional tetap besar. GAPKI mencatat, ekspor sawit menyumbang 13% dari total ekspor Indonesia di 2025, naik dari 10% pada 2024. Sawit juga masih menjadi penopang devisa utama yang menjaga surplus neraca perdagangan.

“Indonesia menyumbang 57,5% dari total produksi minyak sawit dunia, sekaligus konsumen terbesar dengan porsi 27%. India berada di urutan kedua dengan konsumsi 10,8%,” papar Eddy.

Ke depan, GAPKI melihat peluang permintaan India akan kembali menguat seiring harga sawit yang kembali kompetitif. Namun, kebijakan tarif impor dan proteksi pangan India diprediksi tetap menjadi faktor penentu arah ekspor sawit Indonesia.

Bagi Indonesia, sawit bukan hanya komoditas ekspor, tapi juga jembatan penting dalam hubungan dagang dengan India. Meski sempat melemah, kebutuhan besar India akan minyak nabati membuat pasar ini tetap menjanjikan. Tantangannya kini adalah bagaimana menjaga kualitas, daya saing harga, serta memanfaatkan peluang agar kerja sama ekonomi kedua negara semakin erat di masa mendatang.

Laporan oleh Dipa

Share.
Leave A Reply

Exit mobile version