Merdekapos.com, Jakarta – Harga tembaga global saat ini tengah mengalami lonjakan signifikan yang berpotensi membawa keuntungan besar bagi Indonesia sebagai salah satu produsen utama di dunia. Namun, pertanyaannya adalah, sejauh mana Indonesia sudah siap memanfaatkan momentum ini untuk memaksimalkan devisa negara?
Melansir Reuters, Mercuria Energy memproyeksikan kelangkaan pasokan tembaga global hingga ratusan ribu ton sepanjang 2025. Kondisi ini tidak hanya menjadi peringatan bagi industri, tetapi juga peluang emas bagi Indonesia yang memiliki cadangan tembaga terbesar ke-10 di dunia.
Nicholas Snowdon, analis senior Mercuria Energy Trading Group, mengatakan pasar tembaga kini sangat rentan. “Kami memperkirakan defisit 700.000 ton konsentrat dan 300.000 ton katoda bisa terjadi dalam beberapa bulan ke depan,” ujarnya. Lonjakan permintaan dari China dan Amerika Serikat semakin memanaskan pasar, sehingga harga tembaga diprediksi akan menembus rekor baru pada semester kedua tahun ini.
Permintaan tembaga melonjak karena peran pentingnya dalam transisi energi hijau, mulai dari kendaraan listrik, panel surya, hingga jaringan listrik pintar. Data BMI, anak perusahaan Fitch Solutions, memperkirakan kebutuhan global akan tembaga bisa bertambah 4,2 juta ton hingga 2030.
Apa untungnya bagi Indonesia?
Dengan cadangan tembaga sekitar 24 juta ton, Indonesia berpotensi meraih devisa besar. Lonjakan harga bisa meningkatkan pendapatan negara lewat bea keluar dan pajak perusahaan tambang, serta membuka peluang investasi dan lapangan kerja baru.
Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Dwi Pangestu, menegaskan bahwa “Indonesia harus mempercepat pembangunan smelter dan hilirisasi untuk menangkap nilai tambah maksimal dari komoditas ini.” Saat ini, produksi tambang tembaga Indonesia mencapai 920.000 ton, namun kapasitas pengolahan baru sekitar 300.000 ton.
“Kami sedang mendorong investasi untuk memperluas kapasitas refinery agar Indonesia tidak hanya menjual bahan mentah,” tambah Arifin.
Meski memiliki potensi besar, Indonesia harus menghadapi tantangan dalam pengembangan industri hilir dan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Menurut Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) yang juga aktif dalam industri tambang, “Indonesia perlu memperkuat regulasi dan sinergi antar pemangku kepentingan agar kenaikan harga ini benar-benar berdampak positif bagi perekonomian nasional dan masyarakat lokal.”
Bank Indonesia pun mencatat bahwa fluktuasi harga komoditas seperti tembaga sangat berpengaruh pada stabilitas ekonomi regional, sehingga kebijakan pengelolaan sumber daya harus dirancang cermat.
Dengan momentum harga tembaga yang meningkat dan dorongan global terhadap energi bersih, Indonesia memiliki peluang langka untuk menjadi pemain utama dalam industri tembaga yang berkelanjutan. Namun, kesiapan infrastruktur dan kebijakan akan sangat menentukan seberapa besar manfaat yang dapat diperoleh.
Laporan oleh Dipa