Merdekapos.com, Jakarta – Persidangan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia kini memasuki tahap pembacaan tuntutan. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijadwalkan menyampaikan tuntutan terhadap tiga terdakwa yang terlibat dalam perkara yang merugikan negara sebesar Rp 319 miliar.
Ketiga terdakwa adalah Budi Sylvana, mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes; Satrio Wibowo, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI); dan Ahmad Taufik, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM).
“Hari ini, Tim Jaksa akan membacakan surat tuntutan terhadap para terdakwa setelah seluruh proses pembuktian dakwaan selesai, termasuk penyampaian berbagai alat bukti selama persidangan,” ujar Jaksa KPK Wawan Yunarwanto, Jumat (16/5/2025).
Dalam tuntutannya, jaksa meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 10 tahun kepada masing-masing terdakwa. Selain itu, jaksa menuntut agar para terdakwa diwajibkan membayar denda dan mengganti kerugian negara sesuai dengan nilai kerugian yang diakibatkan dari tindakan korupsi tersebut.
Sebelumnya, sidang dakwaan telah digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 4 Februari 2025. Jaksa mengungkap bahwa pengadaan APD dilakukan tanpa dokumen resmi seperti surat pesanan dan bukti pembayaran yang sah.
Terungkap pula bahwa para terdakwa melakukan negosiasi pembelian 170 ribu set APD tanpa prosedur yang sesuai. PT PPM dan PT EKI menerima dana pinjaman sebesar Rp 10 miliar dari BNPB tanpa dokumen pendukung yang memadai, serta menerima pembayaran atas 1.010.000 set APD merek BOHO senilai lebih dari Rp 711 miliar.
Jaksa menegaskan bahwa PT EKI tidak memiliki izin resmi sebagai penyalur alat kesehatan (IPAK), dan PT EKI serta PT PPM tidak menyerahkan bukti kewajaran harga kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Dalam uraian tuntutan, Satrio Wibowo diduga menerima keuntungan Rp 59,9 miliar, Ahmad Taufik Rp 224,1 miliar, sementara PT Yoon Shin Jaya dan PT GA Indonesia juga menerima keuntungan masing-masing Rp 25,2 miliar dan Rp 14,6 miliar.
Berdasarkan audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), total kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 319,6 miliar.
Laporan oleh Dipa