Merdekapos.com, Pekanbaru – Di tengah ketidakpastian penyidikan kasus dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di DPRD Riau, muncul sebuah langkah yang mengguncang yakni mantan Sekretaris DPRD Riau, Muflihun, secara resmi melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mengajukan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Langkah ini bukan hanya memecah kebuntuan dalam proses hukum, tetapi juga membuka “kotak Pandora” yang selama ini tertutup rapat dalam praktik birokrasi dan politik di daerah tersebut.
Alih-alih menunggu proses hukum berjalan lambat di tingkat lokal, Muflihun memilih melangkah ke pusat, menyerahkan dokumen dan data yang menurutnya akan mengungkap siapa sebenarnya yang menikmati manfaat dari praktik korupsi yang berlangsung selama ini.
Muflihun menyatakan siap menjadi whistleblower, sebuah posisi berisiko tinggi di tengah budaya impunitas dan ketidaktransparanan yang melekat di birokrasi lokal.
Namun, yang mencuat ke permukaan adalah ketidakefisienan dan lambannya penanganan kasus ini. Sejak awal terungkap pada 2023, proses penyelidikan dan penyidikan di Polda Riau terkesan berjalan tersendat-sendat, dipenuhi kejanggalan dan ketidakjelasan.
Bahkan, publik mulai merasa bahwa kasus ini seolah dipolitisasi dan sengaja dihambat agar tidak mengungkap lebih dalam praktik-praktik korupsi yang melibatkan pejabat dan elit lokal.
Kasus ini sempat diangkat ke publik akibat temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mencatat kerugian negara hampir Rp196 miliar dari perjalanan dinas yang tidak pernah dilakukan namun tetap dilaporkan dan dicairkan.
Tetapi, proses hukum yang mestinya menuntaskan kasus ini malah berbelok ke arah yang tidak jelas, dengan munculnya spekulasi bahwa ada kekuatan tertentu yang berusaha memblokir penyelesaian kasus secara tuntas.
Selain itu, muncul pula kesan bahwa penahanan atau penetapan tersangka selama ini dipolitisasi untuk melindungi pihak-pihak tertentu, terutama saat gelar perkara di Polda Riau menyebutkan adanya alat bukti cukup terhadap Muflihun. Tapi, mengapa hanya Muflihun yang langsung menjadi target? Padahal, penyelidikan awal menunjukkan bahwa praktik korupsi ini melibatkan banyak pihak lain yang selama ini kebal dan tidak tersentuh, bahkan diduga dilindungi.
Proses hukum yang lambat dan terkesan setengah hati menimbulkan kekecewaan publik dan memperkuat persepsi bahwa kasus ini sengaja dikendalikan agar tak mengganggu kekuasaan tertentu.
Banyak pihak menilai bahwa proses penegakan hukum di Riau masih jauh dari prinsip keadilan, dan seringkali terjebak pada permainan kekuasaan dan kepentingan politik yang sempit.
langkah Muflihun melapor ke KPK dan mengajukan perlindungan menjadi sebuah sinyal bahwa perjuangan melawan praktik korupsi di daerah ini tak lagi bisa ditunda-tunda.
Muflihun berani mengorbankan dirinya demi mengungkap fakta dan membuka kemungkinan adanya pihak lain yang selama ini menikmati hasil kejahatan ini.
Langkah berani Muflihun membuka babak baru dalam kasus SPPD fiktif di Riau, tetapi juga menyoroti betapa sistem penegakan hukum di daerah ini masih jauh dari kata optimal.
Lambatnya proses, dugaan politisasi, dan ketidakpastian hukum menghambat keadilan, sekaligus memberi ruang bagi praktik-praktik korupsi yang terus berakar.
Kasus ini menjadi ujian besar bagi penegak hukum di Indonesia: akankah mereka mampu menjalankan tugas secara independen dan cepat, atau tetap menjadi bagian dari permainan politik dan kekuasaan yang memperlambat keadilan? Yang pasti, “kotak Pandora” ini telah terbuka, dan konsekuensinya akan menentukan masa depan transparansi dan integritas pemerintahan di Riau dan nasional.
Laporan oleh Dipa