Merdekapos.com, Pekanbaru – Dalam sebuah pernyataan yang mencuat, Dr. Sadino, pakar hukum kehutanan dari Universitas Al-Azhar, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan terhadap industri kelapa sawit nasional. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi mengganggu operasional perkebunan, membebani finansial perusahaan, dan bahkan memicu pemutusan hubungan kerja secara massal.

Sadino menyoroti ketidakseimbangan yang mencolok antara luas kawasan hutan yang tidak terkelola, mencapai 31,84 juta hektar, dan luas lahan yang menjadi sengketa antara kawasan hutan dan perkebunan, yang hanya sekitar 4,27 juta hektar.

“Dengan proporsi yang kecil ini, mengapa perhatian pemerintah justru tertuju pada lahan kelapa sawit?” tegasnya,Rabu (12/02/2025). menambahkan bahwa fokus harusnya lebih luas dan tidak hanya terjebak pada masalah perkebunan.

Lebih jauh, Sadino mengingatkan bahwa jika seluruh lahan terlantar tersebut diupayakan untuk dihutan, rencana pemerintah untuk mencapai Indonesia Emas 2045 bisa terancam. Moratorium izin baru untuk kelapa sawit yang telah diterapkan, ditambah dengan stagnasi produksi yang berlangsung selama beberapa tahun, bisa mengganggu pemenuhan kebutuhan energi dari biodiesel dan hilirisasi lainnya.

“Penetapan kawasan hutan ini dapat mengurangi luas lahan perkebunan kelapa sawit, yang berimplikasi langsung pada produksi nasional. Dalam konteks ini, kelapa sawit merupakan salah satu pilar penting bagi pertumbuhan ekonomi kita,” jelas Sadino.

Di sisi lain, Agus Suryoko, Kasi Gakkum Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, mengonfirmasi bahwa perubahan status kawasan memang terjadi. Di Provinsi Riau, sekitar 1,83 juta hektar lahan yang telah dibangun kini ditetapkan sebagai kawasan hutan, meskipun di atasnya telah berdiri berbagai aktivitas ekonomi seperti perkebunan, pertambangan, dan permukiman.

“Perubahan ini perlu dicermati dengan seksama, agar tidak menyulitkan masyarakat dan industri yang telah beroperasi di kawasan tersebut,” ungkap Agus.

Kekhawatiran Sadino dan penegasan Agus mencerminkan dilema yang dihadapi Indonesia: bagaimana menjaga kelestarian lingkungan sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi. Dialog antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri menjadi sangat penting untuk menemukan solusi yang berkelanjutan, agar kedua kepentingan ini dapat berjalan beriringan, demi masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.

Laporan oleh tiwi

Share.
Leave A Reply

Exit mobile version