Merdekapos.com, Jakarta – Di tengah langkah efisiensi fiskal, pemerintah menunjukkan konsistensinya dalam menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Dalam APBN 2025, Kementerian Keuangan menetapkan alokasi dana pendidikan sebesar Rp724,3 triliun, atau setara dengan 20% dari total belanja negara.
Angka ini meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya yang tercatat Rp660,8 triliun, menegaskan komitmen pemerintah memenuhi amanat konstitusi yang mewajibkan anggaran pendidikan minimum 20 persen.
Alokasi dana ini disalurkan melalui tiga jalur utama yaitu belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah, serta pembiayaan. Di antaranya, sekitar Rp297,2 triliun digunakan langsung oleh kementerian/lembaga pusat, termasuk untuk Program Indonesia Pintar (PIP) bagi lebih dari 20 juta siswa, KIP Kuliah untuk 1,1 juta mahasiswa, dan Tunjangan Profesi Guru (TPG) bagi hampir 478 ribu guru non-PNS.
Kemudian, Rp347,1 triliun dialirkan ke daerah melalui skema transfer, guna mendanai BOS untuk puluhan juta siswa, BOP PAUD, hingga revitalisasi ribuan unit sekolah dan perpustakaan melalui DAK Fisik. Sementara itu, Rp80 triliun dialokasikan dalam bentuk pembiayaan, termasuk beasiswa LPDP dan pendanaan riset di sektor pendidikan tinggi.
Namun, peningkatan anggaran ini tidak serta merta menyelesaikan semua persoalan di sektor pendidikan. Terutama, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa negara wajib menjamin pendidikan dasar,baik di sekolah negeri maupun swasta secara gratis tanpa pungutan biaya.
Putusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa pendidikan di tingkat dasar seperti SD, SMP, dan madrasah harus bebas biaya, tanpa membedakan status sekolah. Frasa dalam UU Sisdiknas yang selama ini multitafsir akhirnya diperjelas.
Menanggapi hal ini, pengamat ekonomi dari Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P. Sasmita, menilai bahwa keputusan MK ini tepat secara moral dan konstitusional. Menurutnya, selama ini sekolah negeri cenderung sudah menerima subsidi, meski beberapa masih memungut biaya tambahan. Sedangkan, sekolah swasta selama ini belum mendapat perlakuan setara.
“Keputusan ini memberi sinyal bahwa pemerintah juga perlu hadir untuk sekolah swasta yang turut menjalankan fungsi pendidikan dasar, terutama yang kesulitan dari sisi pendanaan,” ujar Ronny saat diwawancara merdeka.com, Rabu (28/5/2025).
Ronny menyoroti kenyataan bahwa mayoritas siswa di sekolah swasta berasal dari dua golongan: mereka yang tidak tertampung di sekolah negeri, dan mereka dari keluarga menengah atas yang memilih kualitas tertentu. Namun di balik itu, banyak sekolah swasta yang justru kesulitan secara finansial.
“Tak sedikit yayasan pendidikan swasta kecil yang bergantung sepenuhnya pada iuran siswa untuk operasional. Kalau biaya pendidikan dihapuskan tanpa intervensi pemerintah, sekolah-sekolah ini bisa kolaps,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa pemerintah harus selektif. Sekolah swasta yang benar-benar tidak mampu tetapi aktif menjalankan peran mencerdaskan bangsa, layak mendapat dukungan APBN. Sementara, sekolah-sekolah besar yang sudah mapan bisa menjalankan subsidi silang internal, mulai dari jenjang pendidikan tinggi ke dasar tanpa intervensi negara.
Ronny juga mengingatkan bahwa keputusan ini akan membawa konsekuensi terhadap postur fiskal negara. “Jika banyak sekolah swasta bergantung pada pendapatan dari siswa SD dan SMP, maka penghapusan biaya akan memengaruhi operasional mereka. Di sini, negara wajib hadir.”
Ia memprediksi, sebagian besar bantuan nantinya tetap akan bersumber dari APBN. Meskipun, di beberapa daerah, kolaborasi dengan perusahaan besar melalui program CSR bisa menjadi alternatif pembiayaan.
“Namun tetap saja, pemerintah harus menyiapkan langkah strategis. Jangan sampai kebijakan mulia ini malah mematikan lembaga pendidikan yang justru selama ini menjadi penyangga sistem,” pungkasnya.
Laporan oleh Dipa