Merdekapos.com, Jakarta— Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menabuh genderang reformasi di tubuh Kejaksaan RI. Melalui putusan terbarunya, MK mencabut kewenangan khusus Jaksa Agung untuk memberikan izin dalam pemrosesan hukum terhadap jaksa yang terindikasi melanggar hukum.
Keputusan ini membuka jalan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI (Polri) untuk menindak langsung oknum jaksa yang diduga melakukan tindak pidana, terutama korupsi — tanpa harus melewati mekanisme perizinan internal Kejaksaan.
Bagi sebagian kalangan hukum, langkah ini disebut sebagai “momentum emas” untuk memperkuat supremasi hukum di Indonesia.
Selama ini, mekanisme penegakan disiplin di internal Kejaksaan dianggap kurang tegas dalam menindak anggota yang terlibat pelanggaran hukum. Kini, lembaga penegak hukum lain memiliki “senjata” baru untuk membersihkan institusi penegak hukum itu sendiri.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menilai putusan MK tersebut sebagai celah emas yang harus segera dimanfaatkan KPK dan Polri.
Menurutnya, jaksa yang terbukti melanggar hukum namun kasusnya terhenti di internal Kejaksaan seharusnya bisa segera dibawa ke meja hijau.
“Ini momentum untuk memproses jaksa-jaksa yang melakukan pelanggaran,” ujar Ficar, dikutip dari Inilah.com, Jakarta, Sabtu (18/10/2025)
Ficar menggambarkan profesi jaksa ibarat pedang bermata dua — di satu sisi menegakkan hukum, namun di sisi lain tidak sedikit yang justru menyeleweng darinya.
Ia menyoroti beberapa kasus yang mencoreng citra Kejaksaan, termasuk dugaan penggelapan barang bukti dalam perkara robot trading senilai sekitar setengah miliar rupiah yang menyeret mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Hendri Antoro.
Ficar menyebut kasus itu sebagai contoh “pagar makan tanaman” — ketika penjaga bukti justru menjadi pelanggarnya.
Ia juga menyinggung dugaan keterlibatan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah, dalam skandal makelar perkara di lingkungan Mahkamah Agung (MA) yang menyeret tersangka Zarof Ricar.
Menurutnya, kasus-kasus tersebut menjadi indikator betapa rentannya profesi penegak hukum disalahgunakan bila kekebalan hukum tetap dipertahankan.
Latar Belakang Putusan MK
Putusan MK Nomor 15/PUU-XXIII/2025, yang dibacakan pada Kamis (16/10/2025), mengoreksi Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan RI.
Sebelumnya, pasal itu memberi Jaksa Agung hak istimewa untuk mengeluarkan izin sebelum aparat penegak hukum lain dapat melakukan upaya paksa terhadap jaksa yang sedang menjalankan tugas.
Kini, setelah perubahan ini, KPK dan Polri tak lagi wajib meminta izin Jaksa Agung untuk melakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, hingga penahanan terhadap jaksa yang terindikasi melanggar hukum.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menegaskan bahwa perlindungan terhadap jaksa tetap diperlukan untuk menjaga independensi, namun tidak boleh berujung pada kekebalan hukum.
Menurutnya, norma lama itu tidak sejalan dengan prinsip equality before the law dan berpotensi melemahkan prinsip negara hukum.
Atas dasar itu, MK memutuskan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat.
Menariknya, keputusan ini juga menandai perubahan sikap MK. Sebab, pada tahun 2013, MK pernah memutus sebaliknya.
Kini, MK menilai menjaga kemurnian penegakan hukum jauh lebih penting untuk memastikan kesetaraan posisi jaksa dengan aparat penegak hukum lain.
Implikasi Praktis
Dengan putusan ini, KPK dan Polri kini memiliki kewenangan lebih luas dalam menindak jaksa yang diduga terlibat tindak pidana, tanpa lagi menunggu restu dari Jaksa Agung, kecuali untuk kasus-kasus tertentu seperti penindakan terhadap jaksa yang sedang melaksanakan tugas resmi atau tertangkap tangan.
Langkah ini disambut sebagai upaya memperkuat akuntabilitas dan transparansi di tubuh Kejaksaan.
Harapan publik pun meningkat agar penyimpangan di lingkungan lembaga tersebut bisa ditindak tegas tanpa “perlindungan institusional.
Reaksi dan Analisis Independen
Para pakar hukum memandang langkah MK sebagai sinyal kuat reformasi penegakan hukum.
Meski begitu, sejumlah pihak juga mengingatkan akan potensi gesekan antar-lembaga dan resistensi internal dari pihak-pihak yang merasa kewenangannya berkurang.
Beberapa pengamat menekankan pentingnya menjaga asas praduga tak bersalah serta memastikan proses hukum yang adil bagi setiap jaksa yang terlibat perkara, agar tidak muncul penyalahgunaan kewenangan di pihak mana pun.
Langkah Selanjutnya
Analisis berimbang menunjukkan bahwa efektivitas putusan ini akan sangat bergantung pada:
- Penyusunan prosedur kerja yang jelas dan transparan antara KPK, Polri, dan Kejaksaan dalam menangani jaksa terduga pelanggaran hukum.
- Perlindungan hukum bagi saksi, pelapor, dan aparat penegak hukum agar proses berjalan objektif dan aman.
- Penguatan sistem manajemen perkara di internal Kejaksaan, supaya tidak terjadi kekosongan hukum yang justru melemahkan integritas institusi.
Dengan demikian, langkah MK diharapkan bukan hanya menjadi gebrakan simbolik, melainkan titik balik nyata dalam mewujudkan penegakan hukum yang bersih, setara, dan berkeadilan bagi semua pihak.
Laporan oleh Sony