Merdekapos.com, Jakarta — Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Budi Mulyanto, mengingatkan pemerintah soal kepastian hukum dan dampak investasi dari penerapan sanksi serta perluasan kewenangan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025.
Menurutnya, ada potensi ketidakpastian karena besarnya denda dan kewenangan paksa yang luas, bahkan ketika pelaku telah membayar sanksi administratif. Pernyataan itu ia sampaikan sebagaimana dikutip dari Majalah Sawit Indonesia, edisi 3 Oktober 2025.
Sorotan Utama
- Denda administratif: Rp25 juta per hektare per tahun untuk kebun sawit di kawasan hutan.
- Kewenangan Satgas PKH diperluas: penguasaan kembali lahan, paksaan pemerintah, pencabutan izin, pemblokiran rekening, hingga pencegahan ke luar negeri.
- Kepastian hukum dipertanyakan: pembayaran denda tidak serta-merta menjamin lahan tidak diambil alih.
- Dampak meluas: bukan hanya perusahaan besar, tetapi juga kebun masyarakat yang terlanjur masuk kawasan hutan.
Budi menilai besaran denda tersebut memberatkan dan berpotensi menimbulkan persepsi negatif terhadap iklim investasi. Ia menyebut, sejumlah kalangan bahkan mengkritik kebijakan ini sebagai bentuk “pembunuhan industri sawit”.
Akar Masalah: Penetapan Kawasan Hutan
Lebih jauh, Budi menilai persoalan utama tidak hanya terletak pada PP 45/2025, melainkan pada proses penetapan kawasan hutan yang sejak awal tidak sepenuhnya mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
UU tersebut mewajibkan adanya survei sosial, ekonomi, dan penguasaan tanah sebelum penunjukan kawasan hutan. Namun dalam praktiknya, penunjukan kerap dilakukan tanpa survei menyeluruh. Akibatnya, areal milik rakyat, desa, lokasi transmigrasi, hingga Hak Guna Usaha (HGU) lama ikut terklasifikasi sebagai kawasan hutan.
“Kondisi ini memicu konflik tenurial dan menempatkan petani kecil pada risiko sanksi, padahal banyak dari mereka sudah lama menggarap lahan itu,” ujar Budi.
Seruan Kebijakan: Revisi Peta dan Reforma Agraria
Budi mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah mendasar melalui tiga hal penting:
- Merevisi peta kawasan hutan berbasis survei partisipatif yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum.
- Menata ulang batas kawasan agar lebih legitimate, jelas, dan dapat ditegakkan tanpa menimbulkan ketidakpastian.
- Melaksanakan reforma agraria untuk mengakui hak rakyat, serta memanfaatkan lahan negara yang benar-benar kosong bagi kebutuhan energi, pangan, dan pembangunan.
Menurutnya, pembenahan dari akar persoalan akan melindungi masyarakat, menyehatkan industri, dan memperbaiki iklim investasi nasional.
Ringkasan Kebijakan PP 45/2025 yang Dipersoalkan
- Denda: Rp25 juta per hektare per tahun bagi aktivitas sawit di kawasan hutan.
- Implikasi: Pembayaran denda tidak otomatis menghentikan pengambilalihan lahan.
- Kewenangan Satgas PKH:
- Penguasaan kembali lahan oleh negara
- Paksaan pemerintah
- Pencabutan izin
- Pemblokiran rekening
- Pencegahan ke luar negeri
Gambaran Dampak
- Industri: biaya kepatuhan meningkat, ketidakpastian pengelolaan aset, dan menurunnya minat investasi.
- Masyarakat: petani yang kebunnya terlanjur masuk kawasan hutan berisiko terkena denda dan tindakan administratif.
- Tata kelola: diperlukan penegasan batas kawasan hutan yang sahih agar penegakan hukum tidak kontraproduktif.
Laporan oleh: Dipa