Merdekapos.com, Jakarta— Kritik keras dilontarkan oleh akademisi dan pakar lingkungan terkait prosespenedemisi dan pakar lingkungan terkait proses penesi dan pakar lingkungan terkait proses penetapan kawasan hutan di Indonesia yang dinilai tidak sesuai prosedur dan berpotensi memicu konflik sosial berkepanjangan.
Prof. Budi Mulyanto, Guru besar IPB University, menyatakan bahwa proses tersebut selama ini dilakukan secara tertutup, tanpa mengikuti tahapan resmi yang diatur dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.
Dalam diskusi publik bertajuk “Menakar Kebijakan Industri Sawit Menuju Indonesia Emas 2045” yang disiarkan langsung di YouTube Tempo Impresario, Prof. Budi menegaskan bahwa banyak kawasan hutan justru ditetapkan secara sepihak.
“Inventarisasi, penunjukan, tata batas, dan pemetaan yang akurat tidak dilakukan secara memadai.
Banyak kawasan langsung ditetapkan tanpa mengikuti prosedur yang benar,” ujarnya tegas.
Lebih jauh, ia menyoroti penggunaan peta berskala besar 1:500.000 yang dianggap rentan menimbulkan kesalahan interpretasi luas wilayah.
“Kesalahan ini bisa menyebabkan tumpang tindih hak masyarakat adat dan petani, yang selama ini mengelola tanah secara legal,” katanya.
Prof. Budi juga mengkritik keras soal hak rakyat atas tanah. Ia menuturkan bahwa sebagian besar kawasan hutan yang resmi tercatat seluas 31,8 juta hektare saat ini sudah tidak lagi berhutan dan dihuni masyarakat adat maupun petani.
“Batas kawasan sering ditetapkan tanpa melibatkan masyarakat dan tanpa memperhatikan hak-hak mereka, padahal mereka memiliki hak atas tanah yang sah secara hukum,” tegasnya.
Kritik ini menimbulkan kekhawatiran akan munculnya konflik agraria yang semakin meluas jika proses penetapan kawasan hutan tidak segera diperbaiki.
Banyak pihak mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi menyeluruh agar proses ini berjalan transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Pengamat menilai, jika kondisi ini dibiarkan, bukan hanya konflik sosial yang akan meningkat, tetapi juga dampak ekologis dan ekonomi yang lebih luas. Saat ini, masyarakat, petani, dan masyarakat adat menuntut transparansi dan keadilan dalam pengelolaan kawasan hutan Indonesia.
Laporan oleh Dipa