Merdekapos.com, Jakarta –Ferdy Hasiman, pengamat tambang dan energi, melontarkan kritik tajam terhadap revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang baru-baru ini disahkan.
Menurutnya, perubahan tersebut hanya menjadikan UMKM dan koperasi sebagai “label” untuk menutupi kelemahan yang ada, tanpa memberikan manfaat nyata bagi perkembangan industri tambang di Indonesia.
“Revisi ini tidak menghadirkan dampak positif. Justru lebih mengakomodasi kepentingan ormas, sementara industri tambang membutuhkan regulasi inovatif yang mampu mendorong pertumbuhan berkelanjutan,” ungkap Ferdy dalam konferensi pers pada Senin, (24/02/2025).
Ferdy menyoroti bahwa meskipun banyak perusahaan tambang telah berinvestasi dalam pembangunan pabrik smelter untuk mengolah hasil tambang seperti tembaga, bauksit, dan nikel, kebijakan yang ada masih jauh dari ideal.
Kurangnya dukungan untuk penyerapan produk olahan di dalam negeri justru mendorong peningkatan ekspor bahan mentah.
“Industri tambang harus didorong dengan regulasi yang mendukung agar dapat berkembang dengan baik. Namun, revisi ini tidak memberikan arah yang jelas,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyerukan perlunya kejelasan dalam aspek reklamasi pascatambang dalam UU Minerba. Ferdy menekankan bahwa regulasi yang memastikan reklamasi menjadi bagian integral dari undang-undang sangat penting, terutama di tengah kondisi defisit anggaran negara.
“Keberlangsungan industri tambang harus diperhatikan, termasuk kontribusinya terhadap perekonomian negara di tengah tantangan fiskal saat ini,” jelasnya.
Ferdy juga mengungkapkan keprihatinan mengenai kapasitas UMKM dan koperasi dalam mengelola tambang.
Ia berpendapat bahwa jika industri tambang dikelola oleh pihak-pihak yang tidak berpengalaman, kontribusinya terhadap perekonomian negara akan minim.
“UMKM dan koperasi saat ini belum memiliki kapasitas, teknologi, dan investasi yang memadai. Kehadiran mereka lebih berisiko merusak daripada memberikan kontribusi positif,” katanya.
Dalam pandangan Ferdy, meskipun ada upaya untuk membatasi dominasi asing dalam sektor tambang, faktanya, industri tambang Indonesia, khususnya nikel, masih dikuasai oleh perusahaan besar dengan hampir 60% sahamnya dimiliki oleh investor asing. Ia menilai bahwa revisi UU Minerba lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik daripada upaya murni untuk membangun industri.
“Ketika kepentingan politik lebih dominan, industri kita justru semakin rusak. Negara ini tidak semakin baik, tetapi terpuruk demi kepentingan kekuasaan,” kritiknya.
Selain itu, Ferdy mengingatkan bahwa revisi undang-undang ini juga berpotensi membuka ruang bagi praktik korupsi. Ia menekankan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam mengawasi implementasi UU Minerba agar tidak terjadi penyalahgunaan, terutama dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa proses lelang yang transparan.
“Masyarakat sipil harus lebih aktif dalam memonitor. Jangan sampai terjadi praktik korupsi, seperti penerbitan IUP tanpa lelang yang transparan. Itu merupakan bentuk penyimpangan yang jelas,” tutupnya.
Kritik Ferdy Hasiman mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas mengenai arah dan keberlanjutan industri tambang di Indonesia, di tengah tantangan regulasi yang semakin kompleks.
Laporan oleh Ana