Merdekapos.com, Jakarta – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, membeberkan sejumlah persoalan besar yang tengah membelit industri kelapa sawit nasional. Salah satu tantangan utama datang dari kebijakan pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump, yang mulai memberlakukan tarif tinggi pada April 2025.
Menurut Eddy, bea masuk sebesar 32 persen terhadap produk minyak sawit dari Indonesia memberi pukulan telak terhadap daya saing ekspor ke Negeri Paman Sam. “Kebijakan ini membuat kita sulit bertahan di pasar Amerika,” ungkap Eddy dalam sebuah diskusi yang digelar di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, Selasa (10/06/2025).
Ia menambahkan, tekanan eksternal ini memperburuk stagnasi produksi sawit yang telah berlangsung selama lima tahun terakhir. Sejak 2020 hingga 2024, pertumbuhan produksi hanya berkisar 0,42 persen per tahun. Lambannya laju produksi, kata Eddy, dipicu oleh masalah klasik seperti keterbatasan tenaga kerja dan kurangnya pergerakan di pasar global.
Di sisi lain, sektor ini juga harus bersiap menghadapi tantangan dari Eropa. Eddy menyoroti diberlakukannya Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) pada akhir 2025, yang mengharuskan semua produk yang masuk ke pasar Eropa terbukti tidak berasal dari lahan hasil deforestasi. Setiap produk akan menjalani pengecekan acak dengan tingkat inspeksi minimal 3 persen.
“Persyaratan ini cukup membebani, apalagi bagi petani kecil. Kami sedang membangun sistem nasional agar semua pihak bisa patuh dan siap menghadapi aturan ini,” jelasnya.
Selain itu, faktor eksternal lain yang dinilai berisiko tinggi adalah ketidakstabilan ekonomi global. Konflik bersenjata di Timur Tengah, ketegangan antara India dan Pakistan, serta perang dagang yang belum mereda dengan Tiongkok, menjadi momok tersendiri bagi kelancaran distribusi dan fluktuasi harga komoditas.
“Kondisi geopolitik seperti di Timur Tengah, misalnya, berdampak langsung terhadap kenaikan harga energi dan gangguan jalur pelayaran internasional. Akhirnya, ongkos logistik dan energi dalam industri sawit juga ikut melonjak,” ujar Eddy.
Menghadapi berbagai tekanan ini, Eddy menekankan pentingnya kebijakan domestik yang proaktif serta diplomasi perdagangan yang kuat agar industri sawit Indonesia tetap punya posisi kompetitif di kancah internasional.
Laporan oleh Dipa