Merdekapos.com, Papua – Tagar #SaveRajaAmpat menjadi perbincangan hangat dan menduduki posisi trending di media sosial X (sebelumnya Twitter) pada Rabu (4/6/2025).
Lonjakan perhatian ini dipicu oleh kekhawatiran publik terhadap aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang dinilai mengancam kelestarian lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal.
Salah satu suara yang paling lantang dalam isu ini datang dari Greenpeace Indonesia. Dalam sebuah aksi damai yang digelar Selasa (3/6/2025), bertepatan dengan pelaksanaan Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, aktivis Greenpeace bersama empat pemuda Papua membentangkan spanduk bertuliskan: “What’s the True Cost of Your Nickel?”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.
Aksi tersebut berlangsung saat acara pembukaan yang dihadiri oleh sejumlah pejabat, termasuk Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno.
Menurut Greenpeace, agenda hilirisasi nikel yang tengah didorong pemerintah dapat menimbulkan dampak ekologis serius, terutama di kawasan-kawasan sensitif seperti Morowali, Halmahera, dan kini, Raja Ampat.
“Ketika pemerintah dan industri sibuk bicara soal masa depan nikel, justru masyarakat adat di daerah terdampak harus menanggung kerusakan lingkungan. Hutan ditebang, tanah dikeruk, laut tercemar, dan warga lokal tersisih,” ungkap Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik.
Greenpeace menyebutkan, hasil pemantauan mereka sepanjang 2024 menunjukkan adanya aktivitas pertambangan di beberapa pulau kecil di Raja Ampat, seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 telah menetapkan bahwa pulau kecil dan kawasan pesisir harus dilindungi dari kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
Lebih dari 500 hektare hutan alam dilaporkan telah rusak akibat ekspansi tambang. Sedimen dan limbah tambang yang mengalir ke laut turut mengancam keberadaan terumbu karang serta keanekaragaman hayati bawah laut di kawasan tersebut, yang dikenal sebagai salah satu yang terkaya di dunia.
Ronisel Mambrasar, perwakilan dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, turut menyoroti dampak sosial dari keberadaan tambang. “Tambang nikel tidak hanya menghancurkan laut sebagai sumber penghidupan, tapi juga memicu konflik sosial di antara warga,” jelasnya.
Greenpeace mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kembali arah kebijakan hilirisasi nikel. Mereka menilai pendekatan yang terlalu fokus pada investasi telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat serta prinsip keadilan lingkungan dalam transisi menuju energi hijau.
“Transisi energi seharusnya tidak melanggengkan ketidakadilan atau memperburuk krisis iklim. Harus ada keadilan ekologis,” tegas Iqbal.
Menanggapi kegelisahan publik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan akan meninjau kembali aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat. Ia juga berencana mengundang perusahaan-perusahaan tambang, baik milik negara maupun swasta, untuk rapat evaluasi.
“Akan saya panggil semua yang punya izin. Mau itu BUMN, mau swasta,” kata Bahlil di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa Papua, sebagai daerah otonomi khusus, memerlukan pendekatan kebijakan yang berbeda, termasuk dalam pengembangan industri berbasis mineral. Bahlil juga membuka wacana agar pembangunan fasilitas pengolahan (smelter) dilakukan langsung di Papua untuk memberi dampak ekonomi yang lebih besar kepada masyarakat setempat.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertanahan Papua Barat Daya, saat ini terdapat dua perusahaan tambang nikel yang aktif beroperasi di wilayah Raja Ampat: PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining. Kedua perusahaan tersebut telah mengantongi izin sebelum Provinsi Papua Barat Daya resmi dibentuk.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mengaku kesulitan melakukan pengawasan terhadap operasional tambang karena terbatasnya kewenangan daerah. Pemerintah daerah mendorong adanya evaluasi kebijakan agar masyarakat lokal dapat lebih dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam demi keberlanjutan dan kesejahteraan bersama.
Laporan oleh Dipa